KAPAN WASIAT MENJADI HAK MILIK PENUH
Wasiat tidak akan menjadi hak milik penuh bagi si penerima wasiat, kecuali setelah meninggalnya si pemberi wasiat dan terlunasinya seluruh hutangnya. Jadi, manakala seluruh harta peninggalan habis untuk dibayarkan pada hutang-hutangnya, maka sang penerima wasiat tidak mendapatkan bagian apa-apa:
Dari Ali ra, ia berkata: “Rasulullah saw biasa membayar hutang sebelum (dipenuhinya) wasiat; dan kalian (sering) membaca ayat tentang wasiat, MINBA’DI WASHIYYATIN YUUSHAA BIHAA AU DAIN (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya).” (QS an-Nisaa’: 11) (Hasan: Shahih Ibnu Majah 2195, Irwa-ul Ghalil 1667, Ibnu Majah II: 906 no: 2715, Tirmidzi III: 294 no: 2205).
Mengingat mayoritas masyarakat di zaman sekarang ini amat tertarik pada perbuatan bid’ah dalam agama mereka, terutama hal-hal yang bertalian dengan jenazah, maka menjadi suatu kewajiban atas orang muslim berwasiat agar ia dipersiapkan dan dikebumikan sesuai tuntunan sunnah Nabi saw, sebagai bentuk realisasi dari firman Allah swt:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS at-Tahrim: 6).
Oleh karena itu, adalah para sahabat Nabi biasa mewasiatkan masalah itu, dan dalam hal itu banyak sekali atsar (riwayat) dari mereka. Di antaranya ialah:
Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa bapaknya (yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash) pada waktu sakit yang menyebabkan kematiannya berkata, “Galilah liang lahad untukku dan tegakkanlah batu bata untukku sebagaimana yang pernah dilakukan untuk Rasulullah saw.” (Periksa kembali Ahkamul Janaiz hal. 8 oleh Syaikh al-Albani).
Manakala seseorang mempunyai anak yang berhak menjadi ahli waris yang telah meninggal dunia ketika ia masih hidup, maka ia wajib berwasiat untuk putera-puteri si mayyit itu, senilai dengan bagian yang menjadi hak sang mayat, atau sekitar sepertiga dari hartanya dan sepertiga itu sudah banyak. Jika ternyata orang di atas meninggal dunia juga dan tidak sempat memberi wasiat kepada anak-anak sang mayat, maka mereka (ahli warisnya) harus memberikan sebesar bagian yang harus diwasiatkan kepada mereka (kepada anak-anak si mayat tadi), karena ini sesungguhnya adalah tanggungan wajib ia (sang ayah) selesaikan, maka jika ia meninggal dunia dan ia belum sempat menulis penyelesaian tanggungan ini maka tanggungan ini belum terselesaikan. Inilah yang berlaku di pengadilan-pengadilan pada zaman ini.
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 789 – 794.