thumbnail-cadangan
KEPUTUSAN HAKIM TIDAK DAPAT MENGUBAH YANG HAQ SEDIKIT PUN
Barangsiapa yang diberi keputusan hukum yang isinya mengambil hak-hak orang lain, maka janganlah dia mengambilnya; karena sesungguhnya keputusan hakim tidak dapat menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal:
Dari Ummu Salamah ra, isteri Nabi saw bahwa Nabi saw pernah mendengar pertengkaran di depan pintu kamarnya, lalu Beliau keluar menemui mereka, kemudian Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya datang kepadaku orang-orang yang bersengketa, maka barangkali sebagian di antara kalian ada yang lebih pandai berbicara daripada sebagian yang lain, sehingga saya menyangka bahwa dia benar, lalu saya putuskan perkara itu untuknya; karena itu barangsiapa yang telah saya putuskan untuknya hak seorang muslim (yang lain), maka sesungguhnya itu adalah secuil dan api neraka; karena itu ambillah itu atau tinggalkanlah.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari V: 107 no: 2458, Muslim III: 1337 no: 5 dan 1713, Aunul Ma’bud IX: 500 no: 3566, Tirmidzi II: 398 no: 1354, Nasa’i VIII: 233 dan Ibu Majah II: 777 no: 2317).
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 889 – 896.

thumbnail-cadangan
QADHI DIHARAMKAN MEMUTUSKAN HUKUM KETIKA SEDANG MARAH


Dari Abdul Malik bin Umair, ia bercerita: Saya pernah mendengar Abdurrahman bin Abi Bakrah berkata bahwa Abu Bakrah pernah menulis surat kepada anaknya yang (sedang menjabat qadhi) di Sajistan, (yang isinya): Janganlah sekali-kali engkau memutuskan perkara di antara dua orang sedangkan engkau dalam keadaan marah; karena sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi saw bersabda, “Janganlah sekali-kali seorang hakim memutuskan perkara di antara dua orang (yang bersengketa) pada waktu marah.” (Muttafaqun ’alaih Fathul Bari VIII: 136 no: 7158, Muslim III: 1342 no: 1717, Tirmidzi II: 396 no: 1349, ‘Aunul Ma’bud IX: 506 no: 3572, Nasa’i VIII: 237 dan Ibnu Majah II: 776 no: 2316)

thumbnail-cadangan
QADHI DIHARAMKAN MENERIMA SOGOK DAN HADIAH
Dari Abdullah bin Amr ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Allah melaknat penyogok dan penerima sogok.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1871, Ibnu Majah II: 775 no: 1213 dan Tirmidzi II: 397 no: 1352)
Dari Abu Humaid As-Sa’idi ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Segala hadiah (yang diterima) seluruh petugas adalah pengkhianatan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2622, al-Fathur Rabbani V: 424 dan Baihaqi X: 138).

thumbnail-cadangan
ADAB QADHI (HAKIM)
Qadhi wajib bersikap adil kepada dua orang yang bermusuhan, dalam hal perhatiannya, pernyataannya, majelisnya, dan perlakukannya di majelis kehakiman. (Manurus Sabil II: 460).
Dari Abdul Mulaih al-Hadzali, ia bertutur: Umar bin Khathab ra pernah mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari ra (yang isinya), “Amma ba’du, sesungguhnya peradilan adalah suatu kefardhuan yang kokoh status hukumnya dan merupakan sunnah (Rasulullah saw) muttaba’ah (yang terkait dengan baik); karena itu, bila ia (jabatan hakim) diserahkan kepadamu, maka fahamilah (terlebih dahulu); kerana sesunggunya pembicaraan kebenaran yang kiranya tidak bias terlaksana tidak akan memberi manfaat; tolonglah (dengan tulu) diantara orang-orang yang tengah berada di hadapanmu, di majelismu, dan di dalam keadilanmu; dan jangan sampai orang yang mulia menyeretmu pada kelalaianmu.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2619 dan Daruquthni IV: 206 no: 15)

thumbnail-cadangan
PEREMPUAN TIDAK BOLEH JADI HAKIM
Dari Abi Bakrah ra ia bertutur: Sesngguhnya pada waktu berkobar yang Jamal aku mendapatkan manfaat dengan kalimat (wasiat dari Nabi saw), yaitu tatkala Nabi saw mendengar informasi bahwa rakyat Persia mengangkat puteri Kisra sebagai ratu, maka Beliau bersabda, “Sekali-kali tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada (pemimpin) perempuan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5225, Fathul Bari XIII: 53 no: 7099, Tirmidzi III: 360 no: 2365 dan Nasa’i VIII: 227).

thumbnail-cadangan
ORANG YANG WAJIB DIANGKAT SEBAGAI QADHI (HAKIM)
Dalam Fathul Bari XIII: 146, al-Hafiz Ibnu Hajar, menulis bahwa Abu Ali al-Karabisiy, murid Imam Syafi’i dalam Kitabnya Adabil Qadha’ berkata, “Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama’ bahwa orang yang paling berhak memutuskan perkara di antara orang-orang muslim ialah orang yang tampak jelas kelebihannya, kejujurannya, keilmuannya, kewara’annya, rajin mengaji al-Qur’an, mengerti sebagian besar hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, memahami sunnah-sunnah Rasulullah saw dan hafal sebagian besar sunnah Beliau demikian pula mayoritas perkataan sahabat. Mengetahui ijma’ dan khilaf serta pendapat fuqaha’ dari kalangan tabi’in, mengetahui hadits yang shahih dari yang lemah, mengetahui al-Qur’an dalam permasalahan-permasalahan yang ada. Jika tidak ada maka dalam sunnah-sunnah Nabi saw; jika tidak ada, maka meneladani amalan yang sudah disepakati para sahabat; jika ternyata mereka berlainan pendapat, maka mencari yang paling mirip dengan ketentuan al-Quran dan sunnah Rasul, kemudian memperhatikan fatwa para sahabat senior lantas diamalkannya, seringkali melakukan diskusi dengan para ahli ilmu, mengadakan musyawarah dengan mereka dengan tetap memperhatikan keutamaan dan sikap wara’, mampu menjaga lisan dan perut serta kemaluannya, dan mampu memahami pernyataan lawan. Kemudian hendaknya ia orang cerdas dan tidak memperhatikan tuntutan hawa nafsu. Demikianlah, meski kami mengetahui bahwasanya tiada seorang pun di permukaan bumi yang memiliki seluruh sifat-sifat dan kriteria di atas, namun merupakan suatu kewajiban (atas penguasa) agar memilih calon hakim dari setiap zaman yang terbaik dan yang paling utama di antara seluruh rakyat.”

thumbnail-cadangan
LARANGAN MEMBURU JABATAN QADHI (HAKIM)
Dari Abdurrahman bin Samurah ra, ia berkata: Nabi saw pernah bersabda kepadaku, “Ya Abdurrahman, janganlah engkau minta jabatan (kepadaku), karena sesungguhnya jika engkau diberi jabatan karena permintaanmu, niscaya engkau dipasrahkan kepadanya, tapi jika engkau diberi jabatan bukan karena permintaanmu, niscaya engkau akan ditolong untuk melaksanakannya.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XIII: 123 no: 7146, Muslim III: 1273 no: 1652, ‘Aunul Ma’bud VIII: 147 no: 2913 dan Tirmidzi III: 42 no: 1568 serta Nasa’i VIII: 225).

thumbnail-cadangan
RESIKO MENJADI QADHI (HAKIM)
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Barang siapa dilantik sebagai qadhi yang bertugas memutuskan perkara di antara manusia, maka sungguh berarti ia telah disembelih dengan tidak menggunakan pisau.” (Shahih: Shahihul Jami’us no: 6190, ‘Aunul Ma’bud IX: 486 no: 3555, Tirmidzi II: 393 no: 1340 dan Ibnu Majah II: 774 no: 2308)
Dari Abu Buraidah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda, “Qadhi itu ada tiga (macam); yang dua (macam) di neraka, sedang yang satu akan masuk syurga: (pertama) yaitu seorang Qadhi yang mengetahui yang haq lalu ia memutuskan perkara dengannya, maka ia akan masuk syurga; (kedua) seorang Qadhi yang memutuskan perkara di antara orang-orang tanpa dasar pengetahuan, maka ia pasti masuk neraka, dan (ketiga) seorang Qadhi yang sengaja berbuat zhalim dalam (menetapkan) hukum, maka ia pasti masuk neraka.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4446, ‘Aunul Ma’bud IX: 487 no: 3556 dan Ibnu Majah II: 776 no: 2315).

thumbnail-cadangan
KEUTAMAAN MENJADI QADHI (HAKIM)
Dari Abdullah Mas’ud ra bahwa rasulullah saw bersabda, “Sama sekali tiada iri, melainkan dalam dua hal: (Pertama) seseorang yang dikaruniai harta benda oleh Alah, lalu dia mendermakan harta bendanya dalam (membela) yang haq, dan (kedua) seseorang yang diberi hikmah (ilmu) oleh Allah, lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya (kepala orang lain).” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XIII: 298 no: 7316, Muslim I: 559 no: 816 Ibnu Majah II: 1407 no: 4208).

thumbnail-cadangan
HUKUM MENGANGKAT QADHI
Hukum mengangkat qadhi adalah fardu kifayah, yaitu pihak imam (kepala Negara dan semisalnya) berkewajiban mengangkat seorang hakim di setiap negeri, sesuai dengan kebutuhannya, untuk memutuskan perkara di antara penduduk setempat. Sebab, Nabi saw pun biasa memutuskan perkara di antara para sahabat dan lainnya, bahkan Beliau pernah mengutus Ali menjadi qadhi di negeri Yaman. Demikian pula Khulafaur Rasyidun dan mereka pernah mengangkat sejumlah qadhi di beberapa kota besar. (lihat Manurus Sabil II: 453)

thumbnail-cadangan
Al-Qadha (Peradilan)
peradilan agama 
peradilan negara 
peradilan umum 


PERSYARI’ATAN QADHA’
Qadha’ disyar’i atkan berdasarkan Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan Ijma’ ummat Islam.
Allah swt menegaskan:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (QS Al-Maa-idah: 49)
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu sebagai khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara mereka dengan adil.” (QS Shaad: 26)
Dari Amr Ash ra bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, lantas benar (keputusannya) maka ia mendapatkan dua pahala; dan apabila ia memutuskan perkara, lalu ia berijtihad, kemudian (ternyata) keliru (keputusannya), maka ia mendapatkan satu pahala.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XIII: 318 no: 7352, Muslim III: 1342 no: 1716, ‘Aunul Ma’bud IX: 488 no: 3557, Ibnu Majah II: 776 no: 2314).
Kaum muslim sudah sepakat atas syari’atkanya qadha’.

thumbnail-cadangan
Barang Yang Tidak Boleh Diperjualbelikan
1. Khamer (Minuman Keras)
2. Bangkai, Babi dan Patung
3. Anjing
4. Gambar yang Bernyawa
5. Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
6. Biji-Bijian yang Belum Mengeras

thumbnail-cadangan
BERSUMPAH DENGAN KATA HARAM


Barangsiapa mengatakan, ”Makananku haram atas diriku,” atau, ”Haram atas diriku masuk ke dalam rumah si Fulan,” dan semisalnya yang sejatinya termasuk perbuatan yang tidak diharamkan Allah atasnya, maka jika ia melanggar sumpah termaksud ia harus membayar kafarah sumpah:
Allah swt berfirman:
“Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati isteri-isterimu? Dan Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekali membebaskan diri dari sumpahmu.” (QS at-Tahriim: 1-2).
Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah meneguk madu di (rumah) Zainab binti Jahsy (salah satu isterinya) dan tinggal (beberapa hari) bersamanya, kemudian saya dan Hafshah sepakat, (jika) Rasulullah saw masuk ke rumah siapa saja di antara kami berdua, maka hendaklah dia (juga) bertanya kepada Beliau, ”Apakah engkau sudah makan getah pohon? Karena sesungguhnya aku mencium getah pohon padamu.” Maka jawab Beliau, ”Tidak, namun saya hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan minum lagi dan sungguh aku telah bersumpah janganlah engkau menceritakan hal ini kepada siapapun.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3553 dan Fathul Bari VIII: 656 no: 4912).
Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata, ”Tentang (sumpah menggunakan kata) haram ada kafarahnya (kalau dilanggar), (lalu ia membaca ayat), ’LAQAD KAANA LAKUM FII RASUULILLAHI USWATUN HASANAH (=Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat suri tauladan yang baik).”
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 737 – 7


ORANG YANG BERSUMPAH UNTUK MELAKUKAN SESUATU, LALU MELIHAT ADA YANG LEBIH BAIK DARIPADA APA YANG DISUMPAHKAN

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa mengucapkan suatu sumpah lalu dia melihat selainnya lebih baik daripada ia, maka hendaklah dia mengerjakan yang lebih baik itu, dan hendaklah dia menahan sumpahnya dengan membayar kafarah!” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2004, Muslim III: 1272 no: 13 dan 1650 dan Tirmidzi III: 43 no: 1569).

thumbnail-cadangan
KAFARAH SUMPAH
Barangsiapa yang melanggar sumpahnya, maka kafarahnya salah satu dari tiga alternatif ini:
1. Memberi makan sepuluh orang miskin makanan yang biasanya kita berikan kepada keluarga kita.
2. Atau memberi pakaian kepada mereka.
3. Atau memerdekakan seorang budak.
Kemudian barangsiapa tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif di atas, maka kafarahnya harus berpuasa tiga hari. Tidak boleh membayar kafarah dengan jalan berpuasa selagi mampu melaksanakan salah satu dari tiga alternatif itu.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarah (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian itu, maka kafarahnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarah sumpah-sumpahmu, bila kamu bersumpah (lalu kamu melanggar).” (QS al-Maa-idah: 89).

thumbnail-cadangan
DILARANG TERUS-MENERUS BERSUMPAH

Allah swt berfirman:“Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah diantara manusia. Dan Allah Maha Mendengar Lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah: 224).
Ibnu Abbas ra berkata, “Janganlah sekali-kali kamu menjadikan sumpahmu sebagai penghalang untuk melakukan kebajikan; namun tebuslah sumpahmu dengan membayar kafarah dan kerjakanlah segala kebajikan!” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir I: 266).
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah saw, Beliau bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya seorang di antara kamu terus-menerus bersumpah di tengah keluarganya adalah lebih besar dosanya menurut pandangan Allah daripada membayar kafarahnya yang telah diwajibkan Allah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari XI: 517 no: 2625 dan Muslim III: 1276 no: 1655).

thumbnail-cadangan PENGECUALIAN DALAM SUMPAH

Barangsiapa bersumpah, lalu mengucapkan “INSYA ALLAH”, berarti ia telah melakukan pengecualian, dan tidak dianggap melanggarnya bila ia menyalahinya:

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw, Beliau bersabda: Nabiyullah Sulaiman bin Dawud berkata, “(Demi Allah), saya benar-benar akan menggilir tujuh puluh isteri pada malam ini, yang kesemuanya akan melahirkan seorang anak yang akan berperang di jalan Allah.” Kemudian rekannya atau seorang malaikat berkata (kepadanya), “Ucapkanlah, INSYA ALLAH (Jika Allah menghendaki).” Namun dia tidak mengucapkannya dan ia lupa, maka tidak seorangpun di antara isteri-isterinya yang melahirkan seorang anak kecuali satu orang yang melahirkan seorang anak yang cacat. Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Andaikata dia mengucapkan INSYA ALLAH, maka ia tidak (dianggap) melanggar sumpahnya, dan ia pasti akan memperoleh hajat (permohonan)nya.” (Muttafaqun’alaih: Muslim III: 1275 no: 23 dan 1654 dan lafadz ini baginya, Fathul Bari XI: 534 no: 6639 dan Nasa’i VII: 25).

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa bersumpah dan mengucapkan pengecualian (insya Allah), maka jika ia mau boleh merujuk sumpahnya, dan jika ia mau tinggalkan tanpa (dianggap) melanggar sumpahnya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1711, Ibnu Majah I: 680 no: 2105, ‘Aunal Ma’bud IX: 88 no: 3245, dan Nasa’i VII: 12).

thumbnail-cadangan
TIDAK DIANGGAP MELANGGAR SUMPAH ORANG YANG MENYALAHI SUMPAHNYA KARENA LUPA ATAU KELIRU

Barangsiapa yang bersumpah tidak akan mengerjakan sesuatu, lalu ternyata ia melakukannya karena lupa atau karena keliru, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt.
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah.” (QS al-Baqarah: 286).
Dalam sebuah hadits disebutkan:Bahwasannya Allah menjawab, “Ya.” (Shahih: Shahih Nasa’i no: 3588 dan Muslim I: 115 no: 125).

thumbnail-cadangan
SUMPAH BERGANTUNG PADA NIAT

Dari Umar bin Khattab ra, ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (Muttafaqun ’alaih: Shahih Bukhari I: 9 no: 1, Muslim III: 1515 no: 1907, ‘Aunul Ma’bud VI: 284 no: 2186, Tirmidzi III: 100 no: 1698, Ibnu Majah II: 1413 no: 4227 dan Nasa’i I: 59).
Oleh karena itu, barang siapa bersumpah untuk melakukan sesuatu, lalu yang diucapkan berlainan dengan yang diniatkan, maka yang teranggap adalah yang diniatkan, bukan yang diucapkan.

Dari Suwaid bin Hanzhalah ra, ia bercerita, ”Kami keluar hendak menemani Rasulullah saw bersama Wail bin Hujr ra, lalu ia ditahan oleh musuhnya. Kemudian para sahabat keberatan untuk mengucapkan sumpah, lalu saya mengucapkan sumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku, lalu ia dilepaskan. Kemudian, kami datang menemui Rasulullah saw, lalu saya informasikan kepada Beliau bahwa para shahabat merasa keberatan untuk bersumpah, lalu saya bersumpah bahwa ia (Wail) adalah saudaraku.” Maka Rasulullah bersabda, ”Engkau benar, seorang muslim adalah saudara muslim yang lain.” (Shahih, Shahih Ibnu Majah no: 1722, Ibnu Majah I: 685 no: 2119 dan ’Aunul Ma’bud IX: 82 no: 3239).

Niat seorang yang bersumpah hanyalah akan dianggap jika ia tidak dimintai untuk bersumpah. Adapun jika ia diminta untuk bersumpah maka sumpah itu tergantung pada niat orang yang meminta sumpah.

Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya sumpah itu hanya bergantung pada niat orang yang meminta sumpah.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1723, Ibnu Majah I: 685 no: 2120, Muslim LXXIII: 1274 no: 21 dan 1653 tanpa kata INNAMAA).

Darinya (Abu Hurairah) ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sumpahmu bergantung pada apa yang dibenarkan oleh rekanmu.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah: no: 1724, Muslim III: 1274 no: 1653, Ibnu Majah I: 686 no: 2121, ‘Aunul Ma’bud IX: 80 no: 3238 dan Tirmidzi II: 404 no: 1365).

thumbnail-cadangan
KLASIFIKASI YAMIN (SUMPAH)
Yamin (sumpah) terbagi menjadi tiga bagian:
1. Al-Yaminul Laghwi (sumpah sia-sia).
2. Al-Yaminul Ghamus (sumpah palsu).
3. Al-Yaminul Mun’aqadah (sumpah yang sah).



1. Al-Yaminul Laghwi dan Status Hukumnya
Al-Yaminul Laghwi ialah ungkapan sumpah yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah, sekedar pemanis kalimat. Misalnya, orang Arab biasa mengatakan, “WALLAHI LATA’KULANNA” artinya “Demi Allah kamu benar-benar harus makan”, atau ‘WALLAHI LATASYRABANNA’ artinya “Demi Allah kamu benar-benar mesti minum”, dan semisalnya yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah.
Sumpah seperti ini tidak teranggap dan tidak mempunyai akibat hukum, sehingga si pengucap sumpah ini tidak terbebani hukum apa-apa.
Allah swt berfirman:
“Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
Allah swt berfirman lagi:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maidah: 89).
Dari Aisyah ra (tentang firman Allah), “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah)”, ia berkata, ”Ayat ini turun pada perkataan orang Arab: LAA WALLAAHI, WA BALAA WALLAAHI (=tidak, demi Allah, dan tentu, demi Allah).” (Shahih Abu Daud no: 2789 dan Fathul Bari XI: 547 no: 6663).
2. Al-Yaminul Ghamus dan Status Hukumnya
Al-yaminul ghamus ialah sumpah palsu yang dimaksudkan hendak merampas hak-hak orang lain, atau ditujukan untuk berbuat fasik dan khianat. Disebut demikian karena sumpah ini mencelupkan pelakunya ke dalam perbuatan dosa kemudian ke dalam neraka.
Sumpah palsu ini termasuk dosa besar yang paling besar dan tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, karena Allah swt menegaskan:
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Yamin (sumpah) ini tidak sah, karena yamin yang sah bisa ditebus dengan kafarah. Yamin, sumpah ini tidak mendatangkan kebaikan sedikitpun.
Allah swt berfirman:
“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu adzab yang besar.” (QS an-Nahl: 94).
Imam ath-Thabari ra menulis, ”Ma’na ayat ini ialah janganlah kalian menjadikan sumpah-sumpah yang kamu ucapkan itu, yang kamu berjanji hendak menyempurnakan perjanjian kepada rekan-rekanmu seperjanjian, janganlah kamu jadikan sebagai penipuan dan pengkhianatan supaya orang-orang percaya betul kepada kalian, sedangkan kalian menyembunyikan niat busuk hendak berlaku curang kepada mereka.” (Tafsir ath-Thabari XIV: 166).
Dari Abdullah bin Amr ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Dosa-dosa besar (di antaranya) ialah: menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua, membunuh jiwa (tak berdosa), dan sumpah palsu.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4601, Fathul Bari XI: 555 no: 6675, Nasa’i VII: 89 dan Tirmidzi IV: 303 no: 5010).
Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada lima perkara (yang dosanya) tidak bisa ditebus dengan membayar kafarah, (pertama) menyekutukan Allah swt, (kedua) membunuh jiwa dengan cara yang tidak haq, (ketiga) merampas (harta) orang mukmin, (keempat) melarikan diri pada waktu menyerang musuh (desersi), dan (kelima) sumpah palsu yang dimaksudkan untuk mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak benar.” (Hasan: Shahihul Jami’us Shaghir no: 3247 dan al-Fathur Rabbani XIV: 68 no: 220).
3. Al-Yaminul Mun’aqidah (Sumpah yang Sah) dan Status Hukumnya
Al-yaminul mun’aqidah ialah sumpah yang disengaja dan hendak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sebagai penguat untuk melaksanakan atau meninggalkan sesuatu.
Jika yang bersangkutan melaksanakan sumpahnya dengan baik, maka ia tidak terkena sanksi apa-apa; namun manakala ia melanggarnya, maka ia harus menebus dengan membayar kafarah. Ini didasarkan pada firman Allah swt:
“Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.” (QS al-Baqarah: 225).
“Tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja.” (QS al-Maa-idah: 89).
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 742 – 745.