KAPAN NADZAR DIANGGAP SAH DAN KAPAN PULA DINILAI TIDAK SAH
Suatu nadzar akan menjadi sah dan berlaku manakala ditujukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan wajib dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini berpijak pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu ’anha bahwa Nabi saw bersabda:
”Barangsiapa bernadzar hendak ta’at kepada Allah, maka ta’atlah kepada-Nya!” (Takhrij haditsnya sudah termuat pada halaman sebelumnya).
Adapun nadzar untuk suatu kemaksiatan tidak sah, namun pelakunya wajib membayar kafarah sumpah:
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sama sekali tidak ada nadzar dalam kedurhakaan, dan kafarahnya adalah kafarah sumpah.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2590, ’Aunul Ma’bud IX: 115 no: 3267, Tirmidzi III: 40 no: 1562, Nasa’i VII: 26 dan Ibnu Majah I: 686 no: 2125).
Adapun nadzar yang mubah, misalnya seseorang bernadzar hendak menunaikan ibadah haji dengan berjalan kaki, atau hendak berdiri di terik matahari, maka nadzar seperti itu tidak berlaku dan tidak punya akibat hukum yang wajib dipenuhi.
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw pernah melihat seorang kakek tua renta berjalan berpapah pada kedua puteranya, lalu Beliau bertanya, “Apa-apaan ini?” Jawab kedua puteranya, “Ya Rasulullah, dia bernadzar (naik haji dengan jalan kaki). Kemudian Beliau saw bersabda, “Wahai kakek, naiklah kendaraan; karena sesungguhnya Allah tidak butuh kepadamu dan tidak pula kepada nadzarmu ini.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 1005 dan Muslim III: 1264 no: 1643).
Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw pernah melewati seorang laki-laki di Mekkah sedang berdiri di terik matahari, lalu Beliau bertanya, “Sedang apa orang ini?” Jawab mereka, “Dia bernadzar puasa dan tidak berteduh pada bayangan hingga malam, tidak berbicara dan terus-menerus berdiri.” Maka sabda Beliau, “Hendaklah ia berbicara, berteduh dan duduk dan sempurnakanlah puasanya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2591, Fathul Bari IV: 276 dan ‘Aunul Ma’bud no: 3300).